Derita Mendera Dera (The Failure of Government Health Subsidy)

by

Laras Susanti

(Researcher at The Center for Anti Corruption Studies Faculty of Law UGM)

*this article was published by Kompas Daily Newspaper (26 February 2013)

Negeri ini kembali berduka. Pasalnya seorang bayi bernama Dera Nur Anggraeni merenggang nyawa. Ia menderita gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan intersif dan memadai. Sayangnya, upaya keluarga Dera mencari rumah sakit (RS) tak berbuah hasil. Meski berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), sejumlah RS Pemerintah menolak Dera karena kamar yang tersedia sudah penuh. Lainnya berdalih tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk Dera. Sementara jika merujuk pada RS Swasta, keluarga Dera diminta membayar deposit puluhan juta rupiah.

Peristiwa ini seharusnya tidak dipandang sambil lalu, karena telah sejak lama pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan bagi warga. Ada beragam program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan secara spesifik, Jaminan Persalinan (Jampersal) hadir bagi ibu hamil dan anak. Lantas mengapa Dera dan mungkin banyak bayi lainnya ditolak? Benarkah sulit bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas memadai bagi warga khususnya ibu dan anak.

Jaminan Kesehatan

Derita Dera bukanlah derita biasa. Deritanya menggambarkan ketidakberdayaan pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara terutama di bidang kesehatan. Setiap tahun pemerintah menganggarkan sejumlah dana untuk menjamin hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Contohnya Jamkesmas, program ini didanai dari APBN untuk warga miskin, di tahun 2012, pemerintah menganggarkan Rp 7,8 triliun. Jumlah ini meningkat, karena di tahun sebelumnya pemerintah hanya menggelontorkan Rp 6,9 triliun. Realitanya, tahun 2010, Kementerian Kesehatan (Kemkes) melansir hanya 10% dari total 76,4 juta warga miskin yang memanfaatkan Jamkesmas. Selain itu, setiap pemerintahan daerah juga berkewajiban menjamin hak warganya dengan Jamkesda. Miliaran rupiah dikeluarkan dari kas daerah untuk program ini. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, Gubernur Joko Widodo (Jokowi) melansirnya sebagai Kartu Sehat Jakarta.

Lebih lanjut, khusus ibu hamil dan anak yang dikandung terdapat Jampersal. Tahun lalu, DPR menyepakati sebanyak Rp. 1,56 triliun diperuntukan untuk memberikan layanan kesehatan pada ibu hamil dan anak (Kompas, 2012). Sayangnya di banyak daerah, penyerapannya Jampersal bahkan di bawah 30%. Seharusnya jaminan kesehatan ini memberikan pelayanan pada masa kehamilan, persalinan, nifas (42 hari setelah melahirkan) dan bayi baru lahir (sampai usia 28 hari). Pembiayaan yang dijamin yakni pemeriksaan kesehatan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan program Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Jaminan ini hanya dapat diberikan pada keluarga yang tidak menerima jenis jaminan kesehatan lainnya.

Ini merupakan fenomena yang mengherankan, dengan jumlah warga miskin berjumlah puluhan juta jiwa seharusnya jaminan pelayanan kesehatan bisa terserap maksimal. Data penduduk miskin yang bermasalah, sosialisasi yang minim, birokrasi pengurusan yang berbelit, juga belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak RS dipandang menjadi biang kerok.

Serbuan Mafia

               Dalam kondisi yang serba semrawut, miliaran dana yang dikucurkan bisa menjadi sasaran empuk koruptor. Contohnya dugaan korupsi Jamkesmas terjadi di Binjai, Sumatera Utara, yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 11,3 milyar. Jumlah fantastis yang seharusnya digunakan oleh warga yang sakit justru menjadi bancakan pejabat korup. Kasus daerah sebenarnya merupakan cerminan dari bobroknya pengelolaan alokasi pelayanan kesehatan oleh pemerintah pusat. Indonesian Corruption Watch (ICW) mempublikasikan bahwa sepanjang 2008-2009, ada sekitar Rp 128 miliar dana kesehatan yang dikorupsi. Sejalan dengan temuan ICW, PuKAT Korupsi mencatat sepanjang semester pertama 2012, ada enam kasus korupsi kesehatan yang ditangani penegak hukum, termasuk yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan (MenKes) Siti Fadhilah Supari.

               Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa program-program negara untuk mensejahterakan rakyat justru menjadi rebutan bagi pemburu proyek. Yang menjadi fokus adalah berapa banyak fee yang akan diterima oleh sejumlah oknum ketimbang berapa besar manfaat yang dirasakan oleh warga khususnya mereka yang tak berpunya. Bagaimana mungkin memberikan fasilitas yang maksimal jika pengadaan alat kesehatan tidak sesuai perencanaan. Sebut saja, korupsi pengadaan rontgen portable di Puskemas daerah tertinggal, dana proyek digelembungkan bahkan alat tersebut tidak disalurkan.

Potret semrawut sistem jaminan kesehatan dan jamaknya korupsi setidaknya menggambarkan betapa sulitnya warga mendapatkan haknya. Mengacu pada kasus Dera, keluarganya hanya memiliki SKTM artinya belum memiliki jaminan kesehatan apapun. Maka seharusnya terbuka banyak peluang bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mencukupi kebutuhannya, termasuk Jampersal. Nyatanya, tetap sulit bagi Dera mendapatkan pertolongan. Sejumlah pejabat boleh angkat bicara dan menjelaskan. Mereka tentu boleh memberikan alasan. Tapi, Dera telah berpulang. Rasanyapun sulit bagi kita untuk menerima alasan para pejabat. Alasan yang justru menunjukan minimnya performa karena minimnya political will.  Terdengar kabar bahwa Presiden akan mengunjungi keluarga Dera, sayangnya kasus Dera menggambarkan pemerintah telah gagal melindungi hak warga negara. Khususnya mereka yang tergolong kelompok rentan (vulnerable people), yang hidup dalam kemiskinan dan tak punya cukup daya untuk memperjuangkan hak-haknya.  Image

Leave a comment